Selasa, 28 April 2020

Cara Menjadi Pegawai Baru yang Enjoy


Ilustrasi doc. pribadi

Setiap orang dalam perjalanan karirnya, normalnya akan mengikuti alur sebuah roda. Dimulai dari level terendah hingga tertinggi, kalau pegawai negeri misalnya ada pelaksana, penata muda, madya, pembina, dsb. Dari penyebutan jabatan saja sudah kelihatan bagaimana hierarki pekerjaan macam pegawai negeri, juga pegawai-pegawai kerah biru lainnya, atau mungkin juga menimpa pegawai kerah putih.

Sebagai pegawai baru dalam level pelaksana, memang harus sadar bahwa setiap pekerjaan yang diperintahkan harus mengucapkan, "Siap, laksanakan!" Selain itu, pegawai baru itu jangan berani-berani merintah pegawai senior. Bisa berabe ya kan. Tapi job description saya mengharuskan itu. Kadang (bahkan sering) minta pegawai senior buat ngumpulin ini itu, entah bagaimana perasaan mereka. Mungkin kesal.Tapi dalam konteks pekerjaan saya memang mengharuskan seperti itu. Jadi tergantung mereka merasa diperintah atau terbantu karena adanya saya. Toh ketika pencairan, itu juga menjadi milik mereka. Jadi di sini tipsnya, kamu sebagai pegawai baru harus sadar kalau kamu itu "kongkonan" dan berani nolak ketika kerjaan itu bukan kerjaanmu.

Menjadi sadar kalau kamu "kongkonan" itu menjadikan kamu enjoy. Kenapa gitu, ya it's oke memang sekarang level ku seperti ini. Kalau kamu tidak sadar itu menimbulkan tekanan dalam otak. Perasaan kamu nolak tapi kamu lakukan, itu jadi tidak nyaman. Jadi sebisa mungkin kamu terima itu pekerjaan dan lakukan dengan senang hati. Hey! menjadi kongkonan itu tidak selalu menjadi orang yang direndahkan. Anggap saja kamu menjadi orang yang dipercaya. Yakini setiap pekerjaan terbaik yang kamu lakukan, itu kembalinya ke kamu juga. Kelak menjadi pegawai rendahan juga menjadi pembelajaran berharga kamu, bagaimana memperlakukan orang jika roda kamu sudah berputar.

Menolak beberapa pekerjaan yang bukan job desk mu juga ada caranya. haha Jadi beberapa kali saya disuruh untuk melakukan hal yang dibilang enteng, suruh ngprint dan membuat berkas yang kurang. Walaupun enteng kelihatannya, itu akan menjadikan orang tuman. Jadi tugasmu ngumpulin kan, bukan membuatkan. Sadarlah itu bukan tupoksimu. Terkadang juga jika situasinya mendesak saya juga melakukan itu. Tapi beberapa kali saya ditegur sama atasan langsung, jangan mau mbak. Ngomongnya bagaimana? misalnya kita minta maaf kalau sedang harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Selain itu melakukan kerjaan yang bukan job desk mu itu sangat tidak sehat untuk keseimbangan job yang lain. Parahnya, jika ada atasan yang terlanjur nyaman ngasih kerjaan ke kamu karena entengan. Jadi kamu sendiri nanti yang susah. Demi kesehatan organisasi juga sih menurutku. Sebab organisasi yang sehat itu ya setiap orang harus jalan dan sadar dengan kerjaannya.

Organisasi yang tidak sehat memang bikin sutrisna. Nyata memang kalau beberapa pegawai ada yang makan gaji buta. Walaupun secara usia senior, tapi tidak bisa dijadikan panutan yang baik. Tapi kita nggak bisa juga iri dengan mereka lalu malah ikut-ikutan makan gaji buta. Tetap ingat bahwa pekerjaanmu itu yang nantinya membuat gajimu halal. Oke.

Keep enjoy dan salam waras!

Baca juga https://scholiwriting.blogspot.com/2020/04/Tahlilan-dan-Virus-Korona.html
 




 








Rabu, 22 April 2020

Tahlilan dan Virus Korona



Pemakaman kakek (28/4/2020) Dok. pribadi

Himbauan #dirumahaja tidak lah sekadar hastag di media sosial, tetapi menyergap pelosok-pelosok desa di Indonesia. Pemerintah desa sangat ketat dengan aktifitas sosial masyarakat, tak terkecuali ketika ada peristiwa kematian.

Medio Maret tanggal 16 hari Senin bertepatan dengan pengumuman pemerintah adanya pasien positif virus, kantor saya pun mengumumkan lockdown. Situasi ini mengejutkan terutama masyarakat awam, sebab Indonesia terhitung paling akhir mengumumkan adanya orang dengan positif korona daripada negara-negara di dunia. Padahal sempet ramai olok-olok di sosial media kalau Indonesia immune dari korona. Mungkin ini mustahil atau mengejutkan atau apa bahasanya, sulit percaya karena wujudnya tidak kasat mata, tapi banyaknya korban jiwa tidak bisa kita menutup mata.

Dua hari sebelumnya tanggal 13-14 saya pergi ke Jakarta untuk urusan pribadi. Di dalam kereta saya membaca dari story teman kalau Ancol tutup sejak saat itu hingga 14 hari kedepan. Saya masih sulit percaya, tapi dikasih tau teman agar bawa bekal tiga masker kain untuk pergi ke mana-mana. Tetapi betapa orang tua di rumah yang terpapar berita sudah sangat khawatir, sering menelpon dan menanyakan kondisi. Stasiun belum ada kebijakan apa-apa, masih biasa saja. Penumpang masih ramai, tidak ada pemeriksaan apapun. Tetapi sampai di Jakarta, masuk di gedung-gedung sudah ada pengecekan suhu, sterilisasi, dan hand sanitizer di mana-mana. Terpaan informasi yang sangat besar menjadi kami khawatir. Sampai di kosan tanggal 15 saya sudah melakukan protokol kesehatan, seperti harus langsung membersihkan pakaian dan barang ketika habis bepergian. Khawatir tentu saja, bahkan  batuk dan demam rasanya jadi overthinking.

Senin sedang Kamis saya masih berangkat kantor untuk mengerjakan tugas-tugas administrasi, tetapi kegiatan pendidikan sudah mulai online. Hari Jumat saat mau ngantor, ternyata gerbang sudah tergembok, tanda sudah harus pulang. Para pimpinan dan pegawai dibuat piket bergiliran, selain mereka yang piket, kami work from home. Seketika langsung pulang, khawatir naik kendaraan umum, akhirnya pulang naik sepeda motor.

Lima hari saya di rumah, kakek yang tinggal di rumah orang tuaku merasa tidak nyaman di bagian perut, dan minta ke rumah sakit. Keluarga besar pun bingung, kondisi sedang ramai berita virus, rumah sakit pun satu tempat yang kalau bisa jangan sampai ke sana. "Tapi ini situasi darurat," kata saya. Membiarkan dirawat di rumah pun sangat berisiko. Akhirnya setelah rembukan yang lama, saya cari ambulans dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Protokol rumah sakit berbeda dari biasanya, pasien hanya boleh ditunggui oleh satu orang, tentu ini sangat repot sekali. Tapi ya akhirnya ada solusi.

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, hari Jumat malam Sabtu pukul satu dini hari kakek dikabarkan meninggal. Dari rumah sakit langsung di bawa ke desa asalnya untuk dikebumikan. Biasa kalau kematian ada tenda, pemerintah desa melarang untuk pasang tenda, menyediakan tempat cuci tangan dan sabun di depan rumah. Mungkin ini jadi masa berkabung yang paling berkabung. Om dan tante dari Jabodetabek bingung mau pulang apa tidak, akhirnya pulang juga. Tentu dengan protokol kesehatan yang ketat. Mana situasi saat itu di Tegal menerapkan pembatasan atau lockdown wilayah. Dan di kota ada salah seorang anggota DPR RI yang usai melakukan pembagian masker positif dan dikabarkan meninggal. Tentu situasi ini mencekam.

Baru sekarang saya memahami betapa takziyah itu menjadi peringan hati orang yang sedang berduka. Entah kenapa tetangga terdekat di desa sana itu fanatik sekali dengan himbauan #dirumahaja padahal tamu-tamu juga lumayan yang datang jauh dari wilayah kami. Terpaksa saya bilang mereka egois dan tidak ada solidaritas sosial. Jika saya bandingkan di desa saya, ketika ada kematian para tetangga juga banyak yang takziyah. Sampai heran bisa-bisanya itu terjadi di desa, sampai tante saya 'ngrumangsani' kalau saya rajin tahlill, takziyah kok pada tega nggak datang. Hingga tujuh harinan kami hanya siapkan 40 paketan. Bahkan untuk 40 harinan nanti, kami bingung, harus ngundang mereka apa tidak, seperti percuma. Saya bersyukur di desa saya sendiri tahlil malam Jumat masih ada 40 an orang yang ikut hadir mendoakan mbah di rumah saya.

Geliat Ramadhan 


Dua hari lagi tepat hari Jumat tanggal 24 April akan memasuki bulan Ramadhan. Ketegangan warga terkait korona sudah sedikit mengendur. Walau berita di media masih subur. Pedagang di pasar dan alun-alun sudah mulai ramai walau dibatasi jam beroperasi. Kondisi Indonesia yang tidak terlalu  sistematis dan warga yang ngeyelan, semoga menjadikan pulih lebih cepat. Saya tidak bisa membayangkan jika lockdown ini lebih dari satu atau dua bulan, apa masih kuat kami para menengah ke bawah ini. Sebab apa, dampak virus ini di sektor ekonomi sangat besar. Ipar kakak saya yang pelihara ayam pejantan sangat terpukul, satu ekor ayam dihargai Rrp 14.000,00 dan dia memilih menjual sendiri seharga Rp 20.000,00. Dan desa kami tidak seperti desa yang benar-benar desa, di mana bisa ambil 'rambanan' sekenaknya, karena nyatanya untuk daun ketela dan kangkung misalnya ibu masih belanja di penjual sayur. Hanya bersyukurnya kami yang dekat dengan tambak, masih leluasa konsumsi ikan.

Herannya, negara masih memainkan berbagai gimmick. Melarang mudik, padahal mudik itu menjadikan geliat ekonomi warga, coba bayangkan hidup di kota yang sedemikian tertata. Sistem tidak kerja tidak ada uang itu kejam. Sedangkan kantor dan warung disuruh menutup aktifitas, tapi mereka tidak boleh kembali ke kampung halaman. Setidaknya di kampung masih aman, dengan biaya hidup lebih murah, masih menjanjikan dengan keberadaan saudara yang bisa kita pinjam berasnya, tempe masih Rp 1.500,00 betapa bersyukurnya kami.

Saya membayangkan cerita dari I Made Supriatna, jika di Amerika, negara yang sangat tertata, tidak punya kerja sama dengan tidak ada dollar, tidak ada dollar artinya tidak bisa bayar rumah, tidak bisa punya rumah jadi tidak punya alamat, tidak punya alamat artinya tidak bisa cari kerja. Wow itu sangat mudah sekali membuat orang mati sebab frustasi.

Tapi banyak hal yang bisa kita syukuri di tengah pandemi ini, bisa di rumah dan sambil bekerja, bisa full Ramadhan dengan keluarga, bisa menikmati webminar dari para profesional gratis, ngaji online dari pondok mana saja tinggal pilih, dan saya enjoy aja #dirumahaja, yang penting nanti panen ikan nila harganya sudah bagus dan hasilnya mantap. Aamiin Kabarnya di berita, polusi bumi berkurang banyak dan bumi sedang memperbaiki diri. Mungkin sebentar lagi memasuki musim kemarau, saya berdoa kemarau nya lebih manusiawi, tidak ada kejadian kekeringan dan hasil pertanian juga masih aman. Saya masih yakin rahmat Allah masih melimpahi kita warga Indonesia insya Allah. :)

Thanks for reading!